Ketahanan Pangan Dan Stunting

Oleh: Salsa Bila Sogo, S.Mat.          

Mahasiswa dan kaum muda memiliki peran penting dalam menyelesaikan masalah Ketahanan Pangan dan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Alor. Dilaksanaan di Taman Suaka Alam Pesisir (TSAP) Pantai Sabanjar selama dua hari, pelatihan ini cukup memantik kesadaran akan permasalahan di atas. Hari pertama, manager area CD Bethesda Alor, Otto Nodi Atyanto (04/06/2022) memaparkan materi Ketahanan Pangan di Alor dikaitkan dengan masalah kesehatan khususnya masalah stunting. Stunting adalah gagal tumbuh balita saat seharusnya mengalami pertumbuhan, dan jika di atas 2 tahun maka gagal tumbuh itu tidak bisa diperbaiki.

Indonesia penyumbang stunting no. 4 di dunia dan no. 2 di Asia Tenggara. Selama lima belas tahun terakhir NTT penyumbang stunting nomor satu di Indonesia. Alor berada di posisi no. 3 di NTT dengan prevalensi di atas 30% melebihi ambang batas WHO yaitu 20%. Apa saja penyebab terjadinya stunting? Kurangnya asupan gizi, kurang perawatan orang tua (mandi, cuci tangan sebelum makan), sakit yang berkelanjutan, jarak kehamilan yang dekat, rendahnya kualitas dan kuantitas asupan yang sehat, terlambat  ASI, kurang perhatian pada pola makan anak, kurangnya asupan gizi saat hamil dan persoalan sanitasi atau pola hidup yang kurang bersih. Seribu hari pertama kehidupan harus diperhatikan, namun banyak ibu hamil mengalami kekurangan gizi kronis, anak-anak di desa diurus neneknya bukan orangtua, tangan dan tubuh ibu ketika memberikan ASI harus bersih, apabila payudara tidak bersih, maka air susu bisa terkontaminasi. Kebersihan tidak boleh dilewatkan dalam pertumbuhan anak. Sanitasi sangat penting agar anak tidak cacingan dan berat badan turun karena nutrisinya terbuang.

Alor memiliki sumber pangan melimpah di gunung dan laut, umbi-umbian, ikan, dll. Dana desa saat ini banyak dialokasikan untuk penanganan sanitasi, seperti air bersih, sebagai usaha menurunkan angka stunting. Ketika mahasiswa kembali ke kampung, seperti saat KKN, mereka diharapkan bisa menjadi agen perubahan dengan membagikan keterampilan pengolahan pangan lokal.

Narasumber memutar video hasil survey keamanan makanan siap saji (makanan ringan, es dll) dari YLKI di Sulawesi saat bertugas di sana. Penelitian tersebut membuktikan bahwa anak-anak sering mengkonsumsi makanan ringan, yang bungkus luarnya bergambar dan terlihat sangat enak dan menggoda, dengan aneka warna yang membuat anak tertarik, dan ada hadiahnya. Kandungan gula dan garam pada makanan ringan punya kalori tinggi sehingga anak-anak bisa tahan tidak makan nasi sampai sore. Hal ini berkontribusi bagi persoalan gizi buruk anak.

Kebiasaan buruk banyak orang di desa adalah hasil penjualan beras, jagung, telur, pisang, kacang-kacangan, digunakan membeli makanan instan seperti mie, makanan ringan, telur dari toko, kue molen, dll.  Sumber pangan dari kebun memiliki lebih banyak nutrisi. Sebagai orang muda agen perubahan, harus bertekad “Tanam yang kita makan, makan yang kita tanam”.  Kita harus berdaulat pangan dan harus tahu betul proses dari mana asal-usul makanan dan minuman kita.

Salah seorang peserta bernama Valdo bertanya, “Apakah stunting terjadi pada keluarga yang tidak mampu saja atau keluarga yang mampu juga? Stunting tidak hanya terjadi pada keluarga tidak mampu, banyak keluarga mampu tapi anak stunting, dikarenakan aspek perilaku, pola hidup bersih dan sehat yang diterapkan,” jelas narasumber.Tak kalah menarik, secara tidak langsung Covid mengurangi resiko gizi buruk dan stunting, karena orang-orang diharuskan mencuci tangan sebelum makan. CD Bethesda membuka jejaring selanjutnya tentang pelatihan pangan lokal dan obat tradisional yang bisa diikuti oleh para stakeholder kesehatan dan anak-anak muda, mahasiswa. ***

Komentar