Oleh: Salsa Bila Sogo, S.Mat.
Masalah
kesehatan seksual dan reproduksi masih menjadi hal yang baru bagi peserta
pelatihan, bahkan selama ini tidak familiar dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi
(HKSR). Pada umumnya masalah seksual dan reproduksi masih dianggap tabu dan bahkan
dianggap tidak penting, meskipun sebenarnya belajar HKRS sangat penting untuk
mengenali diri sendiri, mengetahui apakah haknya sudah terpenuhi, mendorong
penyaluran dan ekspresi seksualitas yang bertanggung jawab dan sehat,
mengetahui prinsip yang akurat dan ilmiah. Pemahaman HKSR diberikan secara
bertahap sesuai perkembangan anak dan mengacu pada prinsip kesetaraan gender.
Dalam
sesi ini narasumber, Mariana Yunita Opat menjelaskan HKSR dan 12 hak-hak
reproduksi yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Federation
(IPPF) tahun 1996, meliputi hak hidup, hak
kemerdekaan dan keamanan, hak kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi,
hak atas kerahasiaan pribadi, hak atas kebebasan berpikir, hak mendapatkan
informasi dan pendidikan, hak menikah dan tidak menikah serta membentuk dan merencanakan
keluarga, hak memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan punya anak, hak atas
pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak mendapatkan manfaat dari kemajuan
ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam
politik, dan yang terakhir adalah hak bebas dari penganiayaan dan perlakuan
buruk.
Mengapa
kita perlu mengenal dan memahami HKRS? Pendidikan seksualitas ini memberi bekal
kepada peserta pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk tumbuh bahagia
dan sehat. Peserta sadar akan kesehatan dan kesejahteraan, membangun hubungan
sosial dan seksual yang setara, bermartabat, dan saling menghormati dengan
mempertimbangkan pilihan mereka dan orang lain. Selanjutnya peserta bisa saling
melindungi, memperjuangkan dan membela hak seksual dan reproduksi diri sendiri
dan orang lain dari berbagai tindak kekerasan dan serangan terhadap hak seksual
dan reproduksi. Narasumber juga menjelaskan beberapa instrumen hukum yang
terkait dengan HKRS.
Berkaitan
dengan materi kekerasan seksual, nara sumber mengawalinya dengan menjelaskan pengertian
kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang
atau tindakan lain terhadap tubuh yang
terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi
reproduksi, secara paksa. Kasus kekerasan terhadap perempauan sepanjang tahun
2020 mencapai 299.911 kasus (CATU 2020
Komnas Perempuan), sementara kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi
selama tahun 2021 (data Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak)
ada sekitar 6.547 kasus. Hasil survey KRPA ruang kekerasan seksual paling
tinggi ada di jalanan umum, media sosial, kawasan pemukiman, aplikasi chat,
transportasi umum, aplikasi kencan daring, pusat pembelanjaan, permainan
virtual, tempat kerja dan ruang diskusi virtual.
Narasumber
menjelaskan 15 bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan yaitu
meliputi, pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan misalkan di Sumba seperti
kawin tangkap, kontrol seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, perbudakan
seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kontrasepsi, intimidasi seksual, praktik
tradisi, penyiksaan seksual, pemaksaan kehamilan, pemerkosaan, perdagangan
perempuan, penghukuman bernuansa seksual. Kekerasan berbasis gender dan
seksualitas terjadi karena adanya relasi kuasa.
Dalam
sesi ini fasilitator Gereja Tangguh Bencana di Alor, Therlince Loisa Mau membagi
pengalaman soal mitigasi bencana seperti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,
Gempa Bumi, Covid, dan banjir. Peserta berdiskusi atas persoalan yang dihadapi dan
mencari solusi dan cara penyelesaiannya. Kegiatan ini diakhiri dengan harapan
bahwa peserta mendapat bekal dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan. ***
Komentar
Posting Komentar