Perempuan dan Demokrasi

Oleh: Petrus Maure, S.Kom.          

Perempuan dan demokrasi menjadi topik hangat, terlebih di masa menjelang PEMILU 2024. Peristiwa politik yang dinyatakan sebagai pesta demokrasi ini jelas-jelas membutuhkan partisipasi perempuan. Topik ini menjadi materi diskusi yang bertempat di aula kantor Kecamatan Alor Tengah Utara dengan pemateri Setia Budi Laupada SH., M.Hum, dengan judul ‘Mendorong Partisipasi Perempuan Dalam Demokrasi Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2024’ (24/2/2023).

Diskusi diawali nara sumber dengan menyampaikan materi Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Hukum, yang menjadi topik utama dengan mengupas unsur-unsur penting dalam demokrasi yakni kekuasaan berasal dari rakyat dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Demokrasi juga berarti berbicara tentang kedaulatan rakyat yang memiliki kedaulatan penuh dengan nilai-nilai kesetaraan tanpa ada prioritas untuk orang tertentu, juga nilai kebebasan dengan memberikan hak penuh kepada setiap orang untuk berdemokrasi, ada nilai perlindungan, nilai keberagaman, keadilan, dan toleransi.

Bagaimana hubungan demokrasi dan perempuan? Pijakan teologis. Diambil dari Kejadian 1 : 26-28, pemateri menamakannya sebagai “Politik Penciptaan Manusia“, baik laki-laki maupun perempuan direncanakan untuk sama-sama menguasai isi bumi. Pijakan filosofis. Manusia laki-laki dan perempuan diciptakan setara untuk saling melengkapi dan tidak ada diskriminasi. Pijakan sosiologis. Budaya patriarki mengagungkan laki-laki dan perempuan hanya terlibat dalam urusan domestik rumah tangga, sementara urusan publik dan politik hanya bisa dilakukan laki-laki. Di masyarakat Alor saat anak lahir, bapaknya akan bertanya pada dukun bayi apakah yang lahir busur anak panah (laki-laki) atau pikul bakul (perempuan), karena yang diharapkan adalah busur anak panah. Di dalam organisasi juga tanpa sadar ada diskriminasi hak perempuan dengan tidak memberikan kesempatan menjadi pemimpin. Realitas sosiologis. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah, saudara perempuanlah yang mencuci pakaian dan budaya itu telah terbentuk sejak lama. Budaya patriarki yang mendiskriminasi perempuan tidak bisa dipertahankan.

Dasar-dasar hukum seperti Konvensi Internasional tentang posisi perempuan, konstruksi hukum nasional, UUD 1945, UU HAM, UU Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak, serta UU partai politik bahwa kuota perempuan 30%, menjadi pijakan perempuan mengambil kesempatan itu. Bagaimana dengan konteks Alor? Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh mahasiswa menyatakan bahwa perempuan dalam kedudukannya di partai politik hanya untuk memenuhi tuntutan formal kuota 30 %, bukan sebagai alat perjuangan.

Ketika kader perempuan tidak banyak diberi kesempatan menduduki posisi strategis, ini artinya politik masih menjadikan perempuan sebagai objek. Contoh perjuangan perempuan seperti Kartini, Megawati, Khofifah (Gubernur Jawa Timur), menjadi pemicu perempuan Stube HEMAT dan SEMATA (Serikat Mahasiswa Tatakata) masuk ke ruang-ruang publik tersebut, khususnya politik. ***

Komentar